Jumat, 19 Desember 2014

Desember Kelam, Aceh Berduka

Minggu pagi itu cuaca di Darussalam, sebuah Kota di Banda Aceh masih sangat cerah. Angin bertiup santai menghembus jendela rumah-rumah, layaknya merayu untuk terus tidur beristirahat.
Aku masih bermalas-malasan di hari libur sembari menunggu sarapan yang sedang di persiapkan ibu ku. Usiaku masih sangat muda, 10 tahun. Aku mempunyai dua orang adik, lelaki dan perempuan yang berusia 8 dan 3 tahun. Di depan layar televisi, kami bertiga menatapi ceria beberapa kartun dengan nyaman.
Hari itu tanggal 26 Desember tahun 2004, hari dimana kami sekeluarga berencana untuk berwisata ke pantai demi menghabiskan waktu libur. Kami telah bicara jauh-jauh hari masalah wisata ini dan menetapkan minggu ini untuk berangkat ke pantai. Aku sangat menyukai pantai Ulee Lheue karena disana banyak di sewakan ban yang membantuku untuk bermain di laut.
Jam menunjukkan pukul 08.00, ditengah serunya menonton televisi tiba-tiba saja terjadi gempa besar ber skala 9,3 SR. Kami sekeluarga terkejut dan langsung berlari keluar dari rumah. Ayah ku tetap dirumah dengan memegang televisi serta akuarium agar tidak terjatuh. Tentu ini tindakan yang sangat beresiko. Tanah terasa bergoyang ke kiri dan ke kanan. Terdengar suara piring dan gelas di rumahku berhamburan jatuh. Ibu ku menangis sembari ber zikir mengucap nama Allah yang Maha Kuasa. Aku hanya terdiam, tidak tau harus berbuat apa. Itu merupakan gempa terbesar yang pernah aku rasakan.
Gempa mulai reda, tangisan mulai terbendung walau air mata masih menetes melihat lantai rumah yang berserakan dengan kaca. Listrik seketika padam dan jaringan ponsel mati. Ayah dan ibu ku mulai membersihkan semuanya dengan terus meratapi gempa besar tadi. Ibu ku mulai mencemaskan keadaan nenek dan saudara-saudara lainnya yang ada di Nagan Raya.
Saat itu aku dan adikku tidak panik sama sekali, mungkin karena kami belum pernah merasakan gempa. Aku marah karena listrik padam dan tidak bisa menonton film kartun. Maklum di kala itu aku tidak mau meninggalkan kartun kesukaanku.
Waktu terus berjalan, ayah dan adik perempuanku pergi keseberang jalan untuk duduk di warung kopi. Tiba-tiba saja banyak orang berlarian dari arah Kajhu ke Darussalam dengan meneriakkan kata : “Ie Laot ka di ek, ie laot ka di ek !” (Air laut sudah naik, air laut sudah naik !). Ayahku tidak percaya tetapi langsung pulang kerumah. Aku beserta tetangga-tetangga ku mendengar teriakan-teriakan itu dan kami semua langsung berlari kedepan lorong. Lorong di perumahan ku buntu, jadi jika ada sesuatu kami selalu pergi ke pintu lorong agar mudah menyelamatkan diri apalagi rumah ku berada nomor dua dari ujung lorong.
 Ibu ku hanya memakai daster dan jilbab seadanya pagi itu. Aku dan adikku pun masih memakai baju tidur kami. Aku dan juga tetangga-tetangga ku menyaksikan semua orang-orang berlari tunggang langgang sambil menangis sembari meneriakkan dengan nada keras: “ie laot ka di ek !”. Aku masih tidak percaya dengan teriakan orang-orang begitu juga dengan ibu dan ayahku. Aku membayangkan bagaimana bisa air laut bisa naik ke daratan. Itu sungguh mustahil bagiku saat itu. Ayahku bahkan kembali pulang kerumah sembari menggendong adik perempuanku tanpa menghiraukan teriakan orang-orang. Kami beserta tetangga lainnya pun masih berada di pintu lorong walau orang-orang menyuruh kami untuk ikut berlari. Tapi kami belum menggubrisnya.
Di tengah keramaian orang, tiba-tiba saja mata ku melihat sesuatu yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Air hitam yang bergulung membawa banyak seng, kayu, dan juga manusia itu berjalan cepat seolah ingin menggulung kami semua. Aku terkejut bukan kepalang, begitu juga dengan ibu dan tetangga-tetanggaku. Jarak air dengan kami kira-kira hanya 6 meter saja Kami langsung berlari sembari menangis kencang. Aku, adik, ibuku berpegangan tangan berlari menuju tempat yang aman. Jalan sangat sesak dengan orang-orang yang menyelamatkan dirinya dari kejaran air hitam itu.  Air hitam itu berhenti di lapangan tugu Unsyiah. Di Biro Unsyiah, kami semua duduk beristirahat diselimuti rasa takut dan kesedihan yang amat dalam melihat orang-orang digulung oleh air hitam itu.
Sesaat aku teringat dengan ayah dan adik perempuanku yang masih sangat kecil. Aku dan adikku menangis melihat ayah tidak ada disamping kami. Cecek ku yang merupakan adik kandung ibu menghibur kami dan menyuruh untuk tidak menangis karena mereka yakin ayah pasti datang nanti. Aku berdoa dan berharap pada Tuhan untuk melindungi ayah.
Jam menunjukkan pukul 10.00, aku keluar dari dalam Biro Unsyiah untuk melihat keadaan di luar. Ternyata keadaanya sangat mengenaskan. Tepat di depan Perpustakaan Unsyiah, banyak mayat-mayat berserakan dengan bau yang sangat menyengat. Tiba-tiba saja aku dan adikku bertemu dengan ayah dan adik perempuanku. Ayahku selamat dari air hitam itu dengan menyelamatkan diri ke gedung Askopma Unsyiah yang tingginya 3 lantai. Air hitam itu mencapai lantai 2 gedung itu kata ayahku dan itu membuat kami merinding. Dari atas, ayah melihat orang-orang digulung-gulung oleh air, ada orang yang dihantam seng, dan ada juga orang-orang yang berusaha keluar dari air.
Seketika itu, Biro Unsyiah menjadi tempat banyaknya masyarakat yang selamat dari hantaman air hitam itu. Ternyata nama air hitam itu adalah Tsunami yang berasal dari kata Jepang. Banyak masyarakat yang luka-luka dirawat di dalam Biro dan mayat-mayat diletakkan di seputaran Perpustakaan Unsyiah.
Malam hari nya kami sekeluarga tidur di rumah teman kerja ayahku. Mereka sangat baik dan aku sendiri sangat menyukai mereka. Tiba-tiba, sekitaran pukul 02.00 kami dikejutkan kembali dengan gempa. Kami serumah keluar dari rumah sembari berzikir mengucap asma Allah. Sungguh hari itu sangat mengerikan bagiku begitu pula bagi keluargaku.
Di pagi harinya, kami semua di jemput oleh adik ayahku untuk tinggal di Mata Ie, Aceh Besar. Adik ayahku seorang tentara dan kami sekeluarga menginap di komplek tentara. Di sana kami menginap sekitar 3 hari. Tepat pada hari ketiga, kami dijemput oleh pamanku dari Nagan Raya. Nenek menyuruh kami sekeluarga untuk pulang dan jangan berada di Banda Aceh dulu dikarenakan kondisi daerah yang hancur lebur diterpa Tsunami. Ternyata mereka semuanya yang berada di kampong telah menyaksikan kedahsyatan Tsunami yang melanda Banda Aceh. Kampungku tidak terkena Tsunami karena berada sangat jauh dari laut.
Perjalanan ke Nagan Raya harus ditempuh 2 hari 1 malam dikarenakan arus Banda Aceh – Calang putus total sehingga kami harus memutar dari Sigli – Matang – Takengon. Di Takengon kami menginap semalam dan jujur ketika sampai di sana pada malam hari, saya menggigil kedinginan. Rasa dinginnya bisa dikatakan cukup ekstrim apalagi saya hanya mengenakan baju kaos dan selembar kain sarung. Itu kali pertama saya ke sana. Tetapi untungnya aku di ajak ayahku untuk mandi di pemandian air hangat sehingga rasa dinginnya sedikit terobati.

Kami akhirnya sampai ke kediaman nenek di Nagan Raya disertai sanak saudara lainnya. Ibuku berpelukan dengan nenek sambil menangis histeris. Angin yang damai kemudian menyuruh kami untuk kembali beristirahat.

Penulis :
Teuku Romy Syahputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar