Minggu
pagi itu cuaca di Darussalam, sebuah Kota di Banda Aceh masih sangat cerah. Angin
bertiup santai menghembus jendela rumah-rumah, layaknya merayu untuk terus
tidur beristirahat.
Aku
masih bermalas-malasan di hari libur sembari menunggu sarapan yang sedang di
persiapkan ibu ku. Usiaku masih sangat muda, 10 tahun. Aku mempunyai dua orang adik,
lelaki dan perempuan yang berusia 8 dan 3 tahun. Di depan layar televisi, kami
bertiga menatapi ceria beberapa kartun dengan nyaman.
Hari
itu tanggal 26 Desember tahun 2004, hari dimana kami sekeluarga berencana untuk
berwisata ke pantai demi menghabiskan waktu libur. Kami telah bicara jauh-jauh
hari masalah wisata ini dan menetapkan minggu ini untuk berangkat ke pantai.
Aku sangat menyukai pantai Ulee Lheue karena disana banyak di sewakan ban yang
membantuku untuk bermain di laut.
Jam
menunjukkan pukul 08.00, ditengah serunya menonton televisi tiba-tiba saja terjadi
gempa besar ber skala 9,3 SR. Kami sekeluarga terkejut dan langsung berlari keluar
dari rumah. Ayah ku tetap dirumah dengan memegang televisi serta akuarium agar
tidak terjatuh. Tentu ini tindakan yang sangat beresiko. Tanah terasa bergoyang
ke kiri dan ke kanan. Terdengar suara piring dan gelas di rumahku berhamburan
jatuh. Ibu ku menangis sembari ber zikir mengucap nama Allah yang Maha Kuasa.
Aku hanya terdiam, tidak tau harus berbuat apa. Itu merupakan gempa terbesar
yang pernah aku rasakan.
Gempa
mulai reda, tangisan mulai terbendung walau air mata masih menetes melihat
lantai rumah yang berserakan dengan kaca. Listrik seketika padam dan jaringan
ponsel mati. Ayah dan ibu ku mulai membersihkan semuanya dengan terus meratapi
gempa besar tadi. Ibu ku mulai mencemaskan keadaan nenek dan saudara-saudara
lainnya yang ada di Nagan Raya.
Saat
itu aku dan adikku tidak panik sama sekali, mungkin karena kami belum pernah
merasakan gempa. Aku marah karena listrik padam dan tidak bisa menonton film kartun.
Maklum di kala itu aku tidak mau meninggalkan kartun kesukaanku.
Waktu
terus berjalan, ayah dan adik perempuanku pergi keseberang jalan untuk duduk di
warung kopi. Tiba-tiba saja banyak orang berlarian dari arah Kajhu ke
Darussalam dengan meneriakkan kata : “Ie Laot ka di ek, ie laot ka di ek !”
(Air laut sudah naik, air laut sudah naik !). Ayahku tidak percaya tetapi
langsung pulang kerumah. Aku beserta tetangga-tetangga ku mendengar
teriakan-teriakan itu dan kami semua langsung berlari kedepan lorong. Lorong di
perumahan ku buntu, jadi jika ada sesuatu kami selalu pergi ke pintu lorong
agar mudah menyelamatkan diri apalagi rumah ku berada nomor dua dari ujung
lorong.
Ibu ku hanya memakai daster dan jilbab
seadanya pagi itu. Aku dan adikku pun masih memakai baju tidur kami. Aku dan juga
tetangga-tetangga ku menyaksikan semua orang-orang berlari tunggang langgang
sambil menangis sembari meneriakkan dengan nada keras: “ie laot ka di ek !”.
Aku masih tidak percaya dengan teriakan orang-orang begitu juga dengan ibu dan
ayahku. Aku membayangkan bagaimana bisa air laut bisa naik ke daratan. Itu
sungguh mustahil bagiku saat itu. Ayahku bahkan kembali pulang kerumah sembari
menggendong adik perempuanku tanpa menghiraukan teriakan orang-orang. Kami
beserta tetangga lainnya pun masih berada di pintu lorong walau orang-orang
menyuruh kami untuk ikut berlari. Tapi kami belum menggubrisnya.
Di
tengah keramaian orang, tiba-tiba saja mata ku melihat sesuatu yang belum
pernah ku lihat sebelumnya. Air hitam yang bergulung membawa banyak seng, kayu,
dan juga manusia itu berjalan cepat seolah ingin menggulung kami semua. Aku
terkejut bukan kepalang, begitu juga dengan ibu dan tetangga-tetanggaku. Jarak
air dengan kami kira-kira hanya 6 meter saja Kami langsung berlari sembari
menangis kencang. Aku, adik, ibuku berpegangan tangan berlari menuju tempat
yang aman. Jalan sangat sesak dengan orang-orang yang menyelamatkan dirinya
dari kejaran air hitam itu. Air hitam
itu berhenti di lapangan tugu Unsyiah. Di Biro Unsyiah, kami semua duduk
beristirahat diselimuti rasa takut dan kesedihan yang amat dalam melihat
orang-orang digulung oleh air hitam itu.
Sesaat
aku teringat dengan ayah dan adik perempuanku yang masih sangat kecil. Aku dan
adikku menangis melihat ayah tidak ada disamping kami. Cecek ku yang merupakan
adik kandung ibu menghibur kami dan menyuruh untuk tidak menangis karena mereka
yakin ayah pasti datang nanti. Aku berdoa dan berharap pada Tuhan untuk
melindungi ayah.
Jam
menunjukkan pukul 10.00, aku keluar dari dalam Biro Unsyiah untuk melihat
keadaan di luar. Ternyata keadaanya sangat mengenaskan. Tepat di depan
Perpustakaan Unsyiah, banyak mayat-mayat berserakan dengan bau yang sangat
menyengat. Tiba-tiba saja aku dan adikku bertemu dengan ayah dan adik
perempuanku. Ayahku selamat dari air hitam itu dengan menyelamatkan diri ke
gedung Askopma Unsyiah yang tingginya 3 lantai. Air hitam itu mencapai lantai 2
gedung itu kata ayahku dan itu membuat kami merinding. Dari atas, ayah melihat
orang-orang digulung-gulung oleh air, ada orang yang dihantam seng, dan ada
juga orang-orang yang berusaha keluar dari air.
Seketika
itu, Biro Unsyiah menjadi tempat banyaknya masyarakat yang selamat dari
hantaman air hitam itu. Ternyata nama air hitam itu adalah Tsunami yang berasal
dari kata Jepang. Banyak masyarakat yang luka-luka dirawat di dalam Biro dan
mayat-mayat diletakkan di seputaran Perpustakaan Unsyiah.
Malam
hari nya kami sekeluarga tidur di rumah teman kerja ayahku. Mereka sangat baik
dan aku sendiri sangat menyukai mereka. Tiba-tiba, sekitaran pukul 02.00 kami
dikejutkan kembali dengan gempa. Kami serumah keluar dari rumah sembari
berzikir mengucap asma Allah. Sungguh hari itu sangat mengerikan bagiku begitu
pula bagi keluargaku.
Di
pagi harinya, kami semua di jemput oleh adik ayahku untuk tinggal di Mata Ie,
Aceh Besar. Adik ayahku seorang tentara dan kami sekeluarga menginap di komplek
tentara. Di sana kami menginap sekitar 3 hari. Tepat pada hari ketiga, kami
dijemput oleh pamanku dari Nagan Raya. Nenek menyuruh kami sekeluarga untuk
pulang dan jangan berada di Banda Aceh dulu dikarenakan kondisi daerah yang
hancur lebur diterpa Tsunami. Ternyata mereka semuanya yang berada di kampong telah
menyaksikan kedahsyatan Tsunami yang melanda Banda Aceh. Kampungku tidak
terkena Tsunami karena berada sangat jauh dari laut.
Perjalanan
ke Nagan Raya harus ditempuh 2 hari 1 malam dikarenakan arus Banda Aceh –
Calang putus total sehingga kami harus memutar dari Sigli – Matang – Takengon.
Di Takengon kami menginap semalam dan jujur ketika sampai di sana pada malam
hari, saya menggigil kedinginan. Rasa dinginnya bisa dikatakan cukup ekstrim
apalagi saya hanya mengenakan baju kaos dan selembar kain sarung. Itu kali
pertama saya ke sana. Tetapi untungnya aku di ajak ayahku untuk mandi di
pemandian air hangat sehingga rasa dinginnya sedikit terobati.
Kami
akhirnya sampai ke kediaman nenek di Nagan Raya disertai sanak saudara lainnya.
Ibuku berpelukan dengan nenek sambil menangis histeris. Angin yang damai
kemudian menyuruh kami untuk kembali beristirahat.
Penulis :
Teuku Romy Syahputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar